Alkisah, suatu hari Rasul berjalan di lorong gang menuju Masjid, lalu berjumpa dengan anak-anak yang tengah bermain. Saat melihat Rasul, anak-anak segera merangkulnya seraya berkata: “كن جملي”
“Ayolah jadi untaku.!” Karena kerap melihat Hasan dan Husain melakukan hal yang sama pada Rasul, mereka pun menginginkanya. Rasul dengan senang hati mengabulkan permintaan mereka.
Di sudut lain, para sahabat tengah menantikan Rasul untuk memimpin shalat berjamaah di masjid. Bilal pun datang untuk menjemput beliau. Namun Rasul bersabda: “Bagiku, terlambat waktu shalat lebih baik daripada membuat hati anak-anak bersedih”. Rasul lalu meminta Bilal datang ke rumahnya, mengambil makanan untuk anak-anak. Bilal kembali dengan membawa beberapa butir buah kenari, lalu diserahkan pada Rasul.
Kepada anak-anak itu Rasul berkata: " ا تبيعون جملكم بهذه الجوزات ؟" “ Maukah kalian menjual untamu dengan buah-buah kenari ini?” Anak-anak menyanggupi tawaran Rasul dan melepaskan rangkulannya. Rasul berjalan ke arah masjid sambil bercanda: “Semoga Allah merahmati saudaraku, Yusuf. Ia dijual dengan harga beberapa dirham sementara aku terjual dengan beberapa kenari”
Inilah kisah hidup sang Nabi yang welas asih itu. Membaca cerita ini, membuat hati kita bergetar hebat: “Ah…Rasul, engkau memang manusia langit. Tapi, perilakumu begitu membumi hingga bisa menjadi tauladan bagi seluruh ummat”.
Ada tiga catatan yang bisa kita renungkan dari kisah di atas:
1. Pentingnya bermain dengan Anak
Sangat mengagumkan. Rasulullah, seorang kepala negara dan rujukan agama dengan setumpuk agenda dan kesibukan, menyempatkan bermain, tidak hanya dengan keluarganya juga anak-anak lain.
Yang lebih mengagumkan lagi, Rasul bahkan menunda waktu shalat, sebuah ajang perjumpaan dengan sang ‘kekasih’ demi menyelamatkan hati anak-anak agar tidak terluka dengan bermain bersama mereka. Dalam keseharian, betapa sering kita mengecewakan putra putri kita hanya karena tak ingin diganggu ketika memasak, mengetik di depan komputer (facebook-an :D) atau menyelesaikan pekerjaan rumah lainnya.
Dalam teori psikologi anak, disebutkan bermain adalah hak anak yang sama pentingnya dengan hak pendidikan. Dengan permainan, sebenarnya seorang anak sedang menangkap berbagai stimulus untuk perkembangannya. Tepat sekali kiranya, Rasul begitu memberikan prioritas untuk bermain bersama anak-anak.
2. Berlaku seperti kanak-kanak di hadapan mereka
Saat anak-anak berkata “Ayolah jadi unta untukku” mungkin kita teringat adegan seorang ayah yang sering menjadi ‘kuda’ untuk anaknya. Sebenarnya, saat Rasul berperan menjadi tunggangan bagi anak-anak, seakan Rasul ingin berpesan, bermainlah seperti keinginan mereka. Beliau bersabda: “Siapa saja yang sedang berada di dekat anak, hendaknya ia berperilaku seperti kanak-kanak”.
Anjuran Rasul ini juga selaras dengan teori perkembangan anak yang menganjurkan orang tua dan para pendidik untuk berkomunikasi dengan anak sesuai dengan tingkatan umur dan perkembangan anak. Selain anak akan merasa menemukan teman sejati, juga akan belajar memberikan kepercayaan kepada sang orang tua.
3. Memberikan alternatif, bukan larangan
Akhir potongan kisah di atas cukup menarik, bagaimana Rasulullah memberi tawaran buah-buah kenari untuk anak-anak sebagai pengganti permainan yang mereka inginkan. Konon, jika orang tua melarang langsung, anak akan belajar pembangkangan, sebaliknya bila menawarkan alternatif anak akan belajar menerima hal berbeda dengan cara yang bijak. Saat diberikan alternatif, anak tidak merasa tertolak, bahkan merasa diperlakukan istimewa.