Mengasah Jiwa Kepemimpinan Anak

Setiap anak memiliki kesempatan untuk tumbuh menjadi seorang pemimpin, tinggal bagaimana mengasahnya sejak dini.

 Memang ada anak yang memiliki keberanian untuk berinisiatif atau mengemukakan pendapatnya dibanding yang lain, dan ini menunjukkan benih-benih kepemimpinan yang dimiliki anak tersebut. Namun pada dasarnya setiap anak dapat mengasah beberapa kemampuan dasar kepemimpinan sejak dini dengan cara yang sederhana, tidak dengan mempelajari teori-teori kepemimpinan yang tentu saja masih terlalu rumit bagi anak seusia Sasya.

Selain tentunya memberi teladan kepemimpinan lewat contoh, orangtua juga dapat mengasah beberapa kemampuan dasar, antara lain:


Kepercayaan Diri
Kepercayaan diri anak biasanya muncul akibat kemampuan si kecil mengenali berbagai potensi positif yang ada pada dirinya. Karenanya cobalah untuk menjadi ’cermin’ bagi si kecil untuk dapat mengenali berbagai potensi yang dimilikinya. Misalnya dengan mengajak si kecil mengevaluasi usahanya untuk menang, mengenali perasaan-perasaannya ketika berhasil melakukan suatu hal yang sulit, dan sebagainya.


Berani berinisiatif dan mengemukakan pendapat
Dasar dari perilaku ini adalah rasa percaya diri, namun si kecil juga dapat mengasahnya dengan memberi kepercayaan padanya untuk menentukan pilihan secara bertahap. Misalnya dimulai dengan cara-cara sederhana, seperti memilih pakaian yang akan dipakainya hari itu. Cara lain adalah dengan kerap mengajaknya berdiskusi dan menghargai pendapat yang diutarakan dan sebagainya.


Taggung Jawab
Kemampuan ini dapat dilatih dengan memberi tanggungjawab pada si kecil secara bertahap, misalnya atas binatang peliharaannya, atas benda-benda yang dimilikinya atau kebersihan kamarnya.


Tidak Mudah Menyerah
Hindarkan untuk terlalu memanjakan dan melindungi si kecil, karena secara bertahap mereka pun harus merasakan tekanan dari berbagai persoalan hidup. Beri dorongan pada si kecil untuk tidak mudah menyerah terhadap suatu persoalan yang mereka hadapi. Sekali-sekali biarkan si kecil melakukan kesalahan, dan ajak ia mendiskusikan serta mengevaluasi kesalahan tersebut serta menjadikan kesalahan tersebut sebagai batu pijakan untuk maju.


Berpikir kreatif
Ajak anak untuk secara kreatif memikirkan cara-cara yang tidak biasa dalam berbagai hal. Karena kemampuan berpikir kreatif dapat membantu si kecil dalam melakukan pemecahan masalah.


Kemampuan Sosialisasi
Asah kemampuan si kecil untuk bersosialisasi, misalnya dengan mengikutsertakan si kecil dalam suatu organisasi seperti Pramuka. Umumnya jiwa kepemimpinan anak baru dapat dilihat jika ia berada dalam sebuah kelompok, misalnya anak dapat belajar mengoordinir atau memengaruhi teman-temannya dalam melakukan sesuatu. Cara ini juga mengasah kemampuannya berkomunikasi yang sangat berarti ketika berkesempatan menjadi seorang pemimpin kelak.


Mengajarkan pendidikan agama sejak dini
Dengan bekal pemahaman agama yang kuat, si kecil diharapkan akan tumbuh menjadi seorang pemimpin yang memiliki integritas atau memiliki kesungguhan dan amanah dalam melakukan tugastugasnya kelak.

Sumbar : Children are People Too - Dr. Louise Porter

Selanjutnya...

Pendidikan Karakter, Mau Kemana?

SEJAK pertam kali dicanangkan oleh Menteri Pendidikan Nasional pada peringatan hari pendidikan Nasional pada 2010 lalu, model pendidikan karakter marak dipraktikkan di sekolah-sekolah. Lantas, seperti apa efektifitas aplikasi pendidikan karakter tersebut?

KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, pimpinan Pondok Modern Gontor Ponorogo, dalam wawancara dengan majalah Gontor (Juli 2011) berpendapat, bahwa pendidikan karakter itu sangat efektif di dalam pesantren. Karena di pesantrenlah pendidikan integral tercipta.

Dalam pandangan Kyai Sukri, pendidikan integral itu menciptakan orang yang berakter. Karakter dibangun bukan sekedar dengan pembelajaran, akan tetapi juga pengajaran, pelatihan, pembiasaan, dan pembinaan. Di sini artinya, pendidikan agama dan moralitas diintegrasikan.


Usulan model pesantren, sebagai basis pendidikan karakter patut direspon. Sebab selama ini harus diakui bahwa arah pendidikan karakter di Indonesia belum jelas. Model pendidikan karakter apa yang akan diaplikasikan Pendidikan Nasional.

Standar apa yang digunakan untuk menentukan karakter itu baik dan tidak baik, tampaknya Depdiknas belum memiliki acuan yang jelas.

Jika karakter yang dimaksud adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara, juga masih umum. Bisa ditafsirkan apa saja.

Belum menunjukkan suatu karakter manusia ideal, setidaknya untuk bangsa Indonesia yang religius.

Paham Humanisme

Pemahaman umum yang diyakini kebanyakan pendidik, pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan, perasaan, dan tindakan. Definisi ini masih belum menjelaskan di mana peran pendidikan agamanya.

Selama ini pendidikan karakter yang akan dan sedang diaplikasikan di sekolah umumnya mengacu kepada konsep yang ditulis oleh Doni Kusuma. Doni kusuma menyatakan bahwa konsep pendidikan karakter yang ia usung minus pendidikan agama.

Doni Kusuma, yang mengenyam pendidikan di jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma, Italia tersebut ternyata mengadopsi pendidikan karakter model pedagog asal, Jerman F.W.Foerster.

Tujuan pendidikan, menurut Foerster, adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial antara si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi, yang memberikan kesatuan dan kekuatan atas keputusan diambilnya.

Diakui Doni bahwa pendidikan ala Foerster tersebut memang bukanlah pendidikan agama. Memang, pemikiran tersebut tidak menunjukkan peran norma agama dalam pembentukan karakter. Jika seperti itu maka artinya, tanpa agama pun bisa saja orang jadi berkarakter baik.

Dengan demikian, maka model pendidikan seperti itu bermuatan humanisme. Humanisme merupakan ideologi sekular yang pernah dipopulerkan oleh Protagoras, filsuf Yunani kuno. Ideologi ini meyakini bahwa setiap manusia adalah standar dan ukuran segala sesuatu.

Ideologi ini sekular sebab menafikan agama sebagai standar tertinggi dalam menilai setiap aspek kehidupan. Para pengusung paham ini meyakini bahwa nilai-nilai kemanusiaan itu digali dari manusia itu sendiri bukan dari doktrin agama.

Jika mengacu kepada konsep tersebut, seorang ateis pun bisa dikatakan berkarakter baik. Sebab tidak bersyarakat harus bertuhan apalagi bertauhid. Inilah yang disebut pragmatisme konsep pendidikan.

Kebaikan itu hanya dinilai pada satu sisi saja, sedangkan sisi lain yang lebih esensial justru dibuang. Karakter yang baik itu bukan sekedar berdisiplin, tidak korup, jujur dan lain sebagainya. Seorang ateispun bisa memiliki karakter-karakter tersebut.

Doni rupanya terlalu sialu dengan keberhasilan dan kemajuan Barat. Barat maju karena disiplin dan tidak korup. Tapi ia tidak melihat sisi lain, yaitu nilai sekularismenya. Konsep Foerster tersebut konsep pendidikan karakter yang bebas nilai (free value).

Karakter yang bebas nilai itu lah yang berbahaya. Tidak ada nilai-nilai ketauhidan. Seorang yang jujur, tidak korup dan berdisiplin tapi tidak percaya Tuhan tetap saja ia dinilai manusia maju dan berkarater. Dalam pandangan Foerster, spiritualitas itu dapat dicapai tanpa taat beragama.

Di sinilah kerancuannya, bagaiman mungkin Negara Indonesia yang berpenduduk masyoritas muslim dan dikenal sebagai masyarakat religius dikenalkan pendidikan karakter yang sekular tersebut.

Jika karakter model Foerster yang dipakai, maka pendidikan kita bisa saja mencetak individu-individu cerdas, unggul dan berprestasi, akan tetapi berpaham sekular-pluralis.

Pendidikan Beradab

Maka seyogyanya pemerintah tidak malu-malu mengadopsi pendidikan karakter ala pesantren. Konsepnya jelas dan penerapannya telah dipraktikkan ratusan tahun yang lalu.

Di pesantren, apalagi pesantren yang menerpakan pendidikan integral, dikenalkan konsep adab. Dalam konsep adab, pertama-tama yang dibentuk adalah siswa yang berkarakter tauhid. Ini adalah elemen yang paling mendasar.

Siswa diajari bagaimana mengenal Sang Pencipta, bersyukur dan cara beribadah yang benar sesuai yang diperintah Allah. Karakter ini pun tidak serta merta berarti tidak humanis atau anti-sosial.

Justru dengan karakter tauhid itu, adab kepada masyarakat, kepada sesame terbentuk. Tauhid adalah landasannya. Karakter tauhidi dikanlkan bersosialisasi, berorganisasi dan bertoleransi.

Pembentukan karakter di pesantren benar-benar serius. Sebab dilakukan selama dua puluh empat jam. Menurut KH Abdullah Syukri yang dicapai dari pendidikan karakter di pesantren itu adalah orang-orang yang berkarakter kuat, yang tidak cengeng dalam menjalani hidup, dan siap untuk menjalankan kehidupan
Sebab pada hakikatnya kehidupan itu adalah dari Allah dan untuk Allah, maka seorang siswa itu haru siap dengan segala konsekuensi kehidupan. Maka disinilah peran integralisasi pendidikan tidak bisa diabaikan. Seorang siswa cakap dalam ilmu umum sekaligus fasih mengamalkan ajaran agama.

Tujuannya memang membentuk manusia beradab. Seorang beradab pasti berkarakter baik. Sebab ia mengamalkan adab dalam setiap aspek kehidupan dan keilmuan. Setiap ilmu baik itu ilmu sosial atau eksakta dimasuki konsep adab, agar kelak ia menjadi ilmuan yang beradab, ulama yang intelektual bukan intelektual yang tahu tentang agama.


Kholili Hasib

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor Jurusan Ilmu Akidah

Selanjutnya...

Peran Ayah dalam Keluarga

Sebuah survei di Amerika menyebut, kini peran ayah dalam keluarga meningkat. Berbagai kajian para psikolog menyatakan, ayah kini mengambil peranan sangat besar dalam aktivitas rumah tangga maupun dalam proses mendidik anak. Para pria juga mengambil cuti saat “menjadi ayah” karena ingin memberikan waktu lebih besar bagi bayinya.




Peran ayah dalam keluarga yang dimaksud di sini adalah aktif dalam membentuk perkembangan emosi anak, menanamkan nilai-nilai hidup, dan kepercayaan dalam keluarga. Berbagai riset tentang perkembangan anak menunjukkan, pengaruh seorang ayah dimulai sejak usia yang sangat dini. Misalnya ditemukan, bayi laki-laki berusia lima bulan yang banyak menghabiskan waktu dengan ayahnya, menjadi jauh lebih nyaman berada di antara orang-orang asing dewasa. Bayi ini lebih banyak mengoceh dan menunjukkan kerelaan untuk digendong dibandingkan dengan bayi yang ayahnya kurang terlibat.



Terlepas dari itu, di sini peranan ibu tetaplah penting. Namun dalam riset ini juga ditemukan, kualitas hubungan dengan ibu bukan merupakan peramal yang sama kuat mengenai keberhasilan atau kegagalan anak dibanding dengan kualitas hubungan anak dengan para ayah. Kedekatan seorang ayah setelah kelahiran bayinya juga biasanya berkelanjutan hingga masa kanak-kanak, remaja dan dewasa. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa peran aktif ayah dalam mendidik anak ternyata menimbulkan perbedaan yang besar bagi anak-anak dan bisa menentukan masa depan mereka.

Sebagaimana diketahui, tantangan pergaulan remaja sekarang jauh berbeda dengan dulu. Narkoba, tawuran, gang motor yang kriminal, pornografi dan pornoaksi adalah bentuk kenakalan remaja yang sudah menunggu di pintu sekolah anak-anak. Bahkan mungkin sudah berada di dalam rumah. Levant (dalam Adelia, 2006) menyatakan bahwa pria punya kemampuan mengenali dan menanggapi emosi anak-anaknya secara konstruktif dibanding wanita. Sehingga, dengan besarnya tantangan kenakalan yang akan dihadapi anak atau remaja nanti, maka tidak bisa tidak, peranan ayah dalam mendidik anak mutlak dilaksanakan.

Di Indonesia, memang begitu banyak buku maupun artikel dari majalah bertemakan “ayah” diminati pasangan muda, terutama prianya. Namun, sejauh mana perkembangan peranan para ayah ini, belum diketahui karena minimnya penelitian tentang keayahan di Indonesia. Sebaliknya, banyak orang tua, terutama Ayah yang hanya menuntut prestasi pada remajanya, tanpa mempedulikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi para remajanya dalam mewujudkan keinginan orang tuanya.

Banyak Ayah yang memukul, memarahi dan melakukan kekerasan pada anak nya karena mendapat nilai jelek. Orang tua berpikir bahwa dengan dimarahi maka remajanya akan menjadi baik. Sayangnya orang tua yang suka marah dan apalagi memukul, justru akan membuat para remajanya tidak betah di rumah. Santrock (1995) memberikan penjelasan, ketika remaja tidak betah dengan kondisi rumah (sikap orang tua yang selalu mencelah bukan memotivasi) maka selanjutnya remaja akan mencari kelompok di luar rumah yang dapat menerima dirinya. Dari kelompok tersebut kemudian sering muncul perilaku-perilaku yang melanggar aturan (kenakalan remaja), seperti berkelahi, mencuri, membolos dan perilaku-perilaku negatif lainnya.

Selanjutnya...

Yah, Kenapa Sih Allah Menciptakan Koruptor?

Terlalu seringnya kata-kata koruptor diuang-ulang di berita televisi membuat Fata, seorang anak TK penasaran. Ia pun bertanya pada ayahnya: "Yah, Ayah, koruptor tu apaan sih?".



Si ayah yang sedang membaca koranpun menjawab: "Koruptor itu orang yang korupsi".

"Lha korupsi itu apa Yah?"

Berhubung Fata masih kecil, maka sang ayah pun menjawab dengan jawaban yang masuk logika anak: "Korupsi itu ngambil sesuatu yang bukan miliknya, sama seperti pencuri."

"Oh begitu ya Yah, berarti koruptor itu jahat dong. Yah, kenapa sih di dunia ini ada orang jahat? Kenapa Allah menciptakan orang jahat seperti koruptor?"

"Allah tidak menciptakan orang jahat sayang, orang itulah yang memilih jadi jahat".

"Kok bisa gitu Yah?".

"Faalhamaha fujuroha wa taqwaha, maka Allah mengilhamkan kepada manusia kejahatan dan ketakwaan".

"Yah, udah tahu koruptor itu jahat, KENAPA SIH KORUPTOR ITU GAK DIMATIIN aja sama Allah? tanya Fata lagi sambil cemberut agak kesel.

"Hehe, iyalah... nanti juga akan dimatiin sama Allah, kalau sudah sampai batas umur yg ditentukan oleh Allah" jawab ayah geli melihat wajah kesal anaknya.

"Kenapa enggak sekarang aja dimatiinnya, kan dia sudah buat orang lain susah Yah?" tanya Fata lagi penasaran.

"Lho, kalau semua orang jahat dimatiin buru-buru terus enggak ada ujian buat orang baik dong. Lagi pula, semua orang sudah punya batas umur yg ditentukan oleh Allah" Jawab Ayah sambil tersenyum melihat anaknya

"Hmm..ujian itu apa sich Yah? tanya Fata lagi..

"Hmm...gini sayang, Allah itu kan ciptain ada syurga dan ada neraka. Kalau orang yang baik akan dimasukan ke dalam syurga dan orang jahat akan dimasukkan ke dalam neraka. Terus kalau semua orang baik, berarti syurga penuh dan neraka enggak ada penghuninya dong. Kan mubazir jadinya sudah dibuat tapi enggak dihuni, hehehe" jawab ayah yang berusaha masuk logika buah hatinya

"Oh iya..ya..nanti Fata enggak kebagian tempat di syurga ya, kalau semua orang masuk syurga" jawab Fata polos sambil tertawa-tawa.

Selanjutnya...

Pendidikan Antikorupsi Lewat Dongeng

Saddam Husein, mantan presiden dan pemimpin besar Irak, terdidik dalam dongeng. Dalam buku Man and The City, yang ditulisnya sendiri, saddam bercerita betapa dirinya sangat terpengaruh cerita-cerita ibunya. Saddam menuturkan, dia kerap dipeluk ibunya sambil ibundanya bercerita tentang para leluhur. “Ibu saya mendongengkan cerita-cerita sambil membelai rambut saya”, tulis Saddam. Sejumlah pengamat menduga, dongeng-dongeng yang didengar Saddam banyak mempengaruhi kepribadiannya setelah dewasa. Saddam banyak terinspirasi oleh cerita dongeng sang ibunda.

Pengalaman serupa terjadi pada Hans Christian Andersen. H. C. Andersen, penulis cerita anak terkemuka abad 19, melalui autobiografinya, The True Story of My Life, menulis, “Setiap minggu ayahku membuat gambar-gambar dan menceritakan dongeng-dongeng”. Ibunya pun melakukan hal yang sama. Sang ibu mengenalkan dongeng-dongeng legenda rakyat. Kecemerlangan Andersen menyusun kisah dipengaruhi pengalaman batin masa kecil. Ketika dia menggambarkan dalam benaknya dongeng yang diceritakan orang tuanya.

Berdasar pengalaman dua tokoh besar tadi, kita barangkali bisa mengatakan bahwa dongeng ikut andil dalam pembentukan karakter anak. Karena itu, dongeng berfungsi sebagai media pendidikan nilai-nilai keluhuran. Menyebarkan pesan moral tanpa anak menyadari dirinya sedang disuntik nilai-nilai kebaikan.
Dongeng menjadi jalan mewujudkan kaidah dasar, bahwa penanaman nilai dapat dilakukan tanpa kesan memaksa dan menekan. Malahan dongeng dan kegiatan mendongeng membentuk benih-benih sikap positif. Sikap yang terus-menerus dibentuk hingga menjadi karakter anak setelah dia dewasa.

Harus diakui, dongeng punya pengaruh luar biasa. Anak-anak, target utama penceritaan dongeng, mudah terbujuk oleh cerita-cerita dongeng. Penelitian mengungkapkan bahwa dongeng bisa mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual anak. Dongeng sanggup mengembangkan moral; guna mengetahui perbuatan yang baik dan buruk.
Psikolog Ninok Widiantoro mengatakan, dongeng bisa menciptakan sisi kepekaan sang anak. Tokoh dan karakter yang diceritakan dalam dongeng akan selalu diingat oleh sang anak, apakah itu tokoh baik maupun tokoh jahat. Cerita dongeng juga dapat berpengaruh bagi kesembuhan anak yang sedang sakit, terutama dampak psikologisnya. Selain itu, dari berbagai cara untuk mendidik anak, dongeng merupakan cara paling ampuh dan efektif untuk memberikan sentuhan humanis dan sportifitas bagi anak. Dongeng berpengaruh pada cara berpikir, moral, dan tingkah laku.

Dongeng membentuk dan mengembangkan imajinasi anak. Hal ini selaras dengan hasil kajian Robert Fulghum. Pakar anak ini, dalam salah satu bukunya, pernah mengatakan bahwa imajinasi lebih kuat dari pengetahuan dan impian lebih kuat dari fakta. Fulghum bahkan menegaskan, menghadirkan dunia imajinasi sejak dini sangat bermanfaat bagi kesehatan anak.

Selain itu, dongeng berguna untuk memasukkan nilai dan etika secara halus kepada anak. Dongeng akan menanamkan sikap mental yang bersemangat dan tanggung jawab pada diri si anak. Pesan moral, ajaran pekerti, dan pendidikan karakter yang terkandung dalam dongeng akan memberikan keteladanan dan panutan bagi anak.(http://www.kpk.go.id/ 2009/2/16 10:49:57 – 1)
Atas dasar pemikiran seperti itu, rupanya dongeng sejalan dengan tujuan pendidikan antikorupsi.Yakni pembentukan manusia yang mempunyai pemahaman, sikap, dan perilaku yang anti terhadap korupsi. Terutama pendidikan antikorupsi kepada anak dini usia.

Nilai-Nilai Antikorupsi dalam Dongeng
Pendidikan antikorupsi adalah perpaduan pendidikan nilai dan karakter. Sebuah karakter yang dibangun di atas landasan kejujuran, integritas, dan keluhuran. Dalam kaitan itu, dongeng bisa menjadi sarana penanaman nilai-nilai antikorupsi. Pertanyaannya, nilai-nilai antikorupsi seperti apa yang selayaknya diberikan melalui dongeng?

Kita mengetahui, korupsi bisa timbul karena dua sebab. Sebab pertama, korupsi karena kebutuhan (corruption by need). Korupsi yang timbul ketika penghasilan tidak lagi bisa menanggung kebutuhan dasar sehari-hari. Jalan keluarnya biasanya dengan mengambil sikap menyimpang. Melakukan korupsi. Sebab kedua, korupsi karena keserakahan (corruption by greed). Tidak puas dengan satu gunung emas, cari gunung emas kedua dan ketiga. Sudah punya rumah, ingin motor. Sudah ada motor, mau mobil. Mobil terbeli, ingin mobil mewah.

Kedua jenis korupsi tersebut, korupsi karena kebutuhan maupun karena kerakusan, memang tak bisa ditolerir. Namun, penanganan keduanya mengharuskan cara berbeda. Korupsi karena kebutuhan timbul karena kondisi obyektif yang tidak mendukung. Karena sistem yang tidak memberikan harapan kesejahteraan. Oleh sebab itu, perbaikilah sistem.

Sementara, korupsi karena kerakusan disebabkan kondisi subyektif. Kondisi internal seseorang. Adanya sifat tamak, tidak puas, dan keinginan memperkaya diri sendiri. Korupsi yang dikerjakan oleh mereka yang nuraninya sudah buta. Ingin sejahtera tanpa mau kerja keras. Karenanya, untuk memberantas korupsi jenis ini, perbaikilah orangnya.

Korupsi karena tamak lebih bahaya ketimbang korupsi karena kebutuhan. Kerakusan, dusta, ketidakjujuran merupakan perilaku yang bisa terbentuk sejak kecil. Sejak masa kanak-kanak.

Perilaku ini adalah kumpulan dari apa yang dialami dalam proses hidup, mulai usia dini hingga dewasa. Teori psikologi kognitif menguatkan argumen ini. Menurut psikologi kognitif, apa yang kita dengar, lihat, pikirkan, rasakan, dan alami akan mempengaruhi cara pandang dan perilaku kita.

Singkatnya, perilaku kita merupakan resultante dari apa yang kita pikir, rasa, dan lakukan. Dengan demikian, apa yang kita lihat dan dengar semasa kecil juga akan membentuk karakter kita bila dewasa kelak.

Karena itu, nilai-nilai antikorupsi dalam dongeng adalah nilai-nilai yang mempromosikan kesederhanaan, kejujuran, dan daya juang. Selain itu, juga nilai-nilai yang mengajarkan kebersamaan, setiakawan, dan kedisiplinan.

Namun, tentu saja, tidak semua cerita dalam dongeng bisa berguna. Kita pasti ingat dongeng si kancil mencuri ketimun petani. Si kancil dikisahkan hewan yang cerdas, cerdik, dan lincah. Dengan kecerdikannya, si kancil mengelabui petani, untuk kemudian berhasil mencuri ketimun. Si kancil sulit tertangkap oleh petani. Suatu kali petani berhasil menangkap basah si kancil. Tetapi dengan kelihaiannya, kancil berkelit dari jerat hukuman.
Cerita kancil di atas mungkin saja telah meracuni pikiran anak. Anak mengira mencuri adalah sesuatu yang wajar. Anak memiliki anggapan bahwa kepintaran merupakan keunggulan seseorang yang bermanfaat untuk mencuri.

Karena itu, sesuai nilai antikorupsi yang ingin disebarkan, maka kita perlu cerita dongeng yang memuat figur-figur yang jujur, berani, kompetitif, dan bertanggungjawab. Bukan figur yang memakai kecerdikannya untuk memperdaya orang lain.

Dongeng dan mendongeng adalah salah satu bentuk pendidikan nilai, yang pada gilirannya mendukung upaya pendidikan antikorupsi. Sebuah pendidikan antikorupsi yang dimulai dari usia dini.
Pendidikan antikorupsi diharapkan membentuk karakter individu, hingga pada gilirannya akan membentuk karakter bangsa secara keseluruhan.
 
Faisal Djabbar
Fungsional Deputi Pencegahan Direktorat Pendidikan & Pelayanan Masyarakat KPK

Selanjutnya...

Mengajarkan Anak Memotong Kuku

Semua dimulai dari rumah. Rumah adalah madrasah pertama dan utama bagi anak, dan memegang peranan penting agar anak dapat tumbuh dan berkembang sesuai harapan. Dari rumah, kebiasaan-kebiasaan baik mulai diajarkan dan ditanamkan utuk anak-anak.

Salah satu kebiasaan baik yang harus ditanamkan adalah memotong kuku. Memotong kuku adalah sunnanul-fitrah yang telah Allah syariatkan kepada manusia, melalui rasulNya. Berikut akan saya sampaikan tips tentang mengajarkan memotong kuku untuk anak-anak:


Ajarkan dengan cara M-A-I-N
Metode dalam mengajarkan untuk membiasakan anak untuk memotong kukunya yang paling tepat adalah dengan cara bermain, sama halnya dengan ketika kita ingin mengenalkan hal-hal yang lain juga. Perlu kita sadari betul, belajar untuk anak usia dini caranya ya dengan bermain, dalam bermain pun sebenarnya proses belajar.

Beri Contoh
Kemudian, orang tua harus senantiasa memberi contoh. Masa mau mengajari anaknya potong kuku, orang tuanya malah memanjangkan kukunya? Ingat, anak kecil adalah peniru yang ulung. Ia akan sangat mudah meniru kebiasaan orangtuanya.

Ciptakan Suasana Menyenangkan
Mungkin ada kalanya anak merasa takut ketika akan dipotong kukunya. Untuk mengatasi hal tersebut, gunakanlah pemotong kuku yang bentuknya lucu-lucu, misalnya yang berbentuk hamster lucu seperti gambar di bawah ini. Sambil memotong kukunya, mungkin orang tua juga bisa mengembangkan daya imajinasi anak dengan mendongeng. Ceritakan bahwa ada hamster kecil yang lapar yang pengen makan kuku. Dengan demikian, aktivitas memotong kuku akan menjadi sangat menyenangkan.

Alat pemotong kuku yang lucu akan membuat aktivitas memotong kuku menjadi menyenangkan

Jelaskan Manfaatnya
Hal yang memotivasi seseorang untuk melakukan sesuatu adalah nilai manfaatnya. Oleh karenanya, orang tua harus bisa menjelaskan manfaat memotong kuku. Serta dampak buruk apabila kuku dibiarkan panjang.Misalnya dengan mengatakan kepada anak bahwa kuku yang panjang akan menjadi rumah dan tempat berkembangbiaknya kuman, bakteri dan virus yang menyebabkan sakit.


Adab Memotong Kuku
Karena memotong kuku merupakan sunnah, maka ada adab-adab (aturan) dalam melakukannya. Diantaranya adalah mengenai urutan-urutan dalam memotong kuku tangan maupun kaki.

Untuk kuku tangan dimulai dari jari tulunjuk tangan kanan. Kemudian jari tengah, manis, kelinking berikutnya baru ibu jari tangan kanan. Selanjutnya kelingking tangan kiri, manis, tengah, telunjuk dan diakhiri dengan ibu jari tangan kiri.


Sedangkan untu kuku kaki, dimulai dari kelingking kaki kanan dan seterusnya, hingga berakhir di jari kaki kiri
.


Sedangkan doa ketika memotong kuku adalah:

 بسم الله وبالله وعلى ملة  محمد وآل محمد  

Bismillah wa billah wa 'ala millati Muhammadin wa aali Muhammadin 

Sayyidina Ja'far ra. berkata: "Barang siapa memotong kuku  pada  hari Jum'at dan berdoa (seperti doa di atas-red) ketika memotongnya, maka tiada gugur yang dikerat itu melainkan dengan pahala memerdekakan seorang hamba dan tiada sakit melainkan sakit mati".

Selanjutnya...