SEJAK pertam kali dicanangkan oleh Menteri Pendidikan Nasional pada peringatan hari pendidikan Nasional pada 2010 lalu, model pendidikan karakter marak dipraktikkan di sekolah-sekolah. Lantas, seperti apa efektifitas aplikasi pendidikan karakter tersebut?
KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, pimpinan Pondok Modern Gontor Ponorogo, dalam wawancara dengan majalah Gontor (Juli 2011) berpendapat, bahwa pendidikan karakter itu sangat efektif di dalam pesantren. Karena di pesantrenlah pendidikan integral tercipta.
Dalam pandangan Kyai Sukri, pendidikan integral itu menciptakan orang yang berakter. Karakter dibangun bukan sekedar dengan pembelajaran, akan tetapi juga pengajaran, pelatihan, pembiasaan, dan pembinaan. Di sini artinya, pendidikan agama dan moralitas diintegrasikan.
Usulan model pesantren, sebagai basis pendidikan karakter patut direspon. Sebab selama ini harus diakui bahwa arah pendidikan karakter di Indonesia belum jelas. Model pendidikan karakter apa yang akan diaplikasikan Pendidikan Nasional.
Standar apa yang digunakan untuk menentukan karakter itu baik dan tidak baik, tampaknya Depdiknas belum memiliki acuan yang jelas.
Jika karakter yang dimaksud adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara, juga masih umum. Bisa ditafsirkan apa saja.
Belum menunjukkan suatu karakter manusia ideal, setidaknya untuk bangsa Indonesia yang religius.
Paham Humanisme
Pemahaman umum yang diyakini kebanyakan pendidik, pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan, perasaan, dan tindakan. Definisi ini masih belum menjelaskan di mana peran pendidikan agamanya.
Selama ini pendidikan karakter yang akan dan sedang diaplikasikan di sekolah umumnya mengacu kepada konsep yang ditulis oleh Doni Kusuma. Doni kusuma menyatakan bahwa konsep pendidikan karakter yang ia usung minus pendidikan agama.
Doni Kusuma, yang mengenyam pendidikan di jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma, Italia tersebut ternyata mengadopsi pendidikan karakter model pedagog asal, Jerman F.W.Foerster.
Tujuan pendidikan, menurut Foerster, adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial antara si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi, yang memberikan kesatuan dan kekuatan atas keputusan diambilnya.
Diakui Doni bahwa pendidikan ala Foerster tersebut memang bukanlah pendidikan agama. Memang, pemikiran tersebut tidak menunjukkan peran norma agama dalam pembentukan karakter. Jika seperti itu maka artinya, tanpa agama pun bisa saja orang jadi berkarakter baik.
Dengan demikian, maka model pendidikan seperti itu bermuatan humanisme. Humanisme merupakan ideologi sekular yang pernah dipopulerkan oleh Protagoras, filsuf Yunani kuno. Ideologi ini meyakini bahwa setiap manusia adalah standar dan ukuran segala sesuatu.
Ideologi ini sekular sebab menafikan agama sebagai standar tertinggi dalam menilai setiap aspek kehidupan. Para pengusung paham ini meyakini bahwa nilai-nilai kemanusiaan itu digali dari manusia itu sendiri bukan dari doktrin agama.
Jika mengacu kepada konsep tersebut, seorang ateis pun bisa dikatakan berkarakter baik. Sebab tidak bersyarakat harus bertuhan apalagi bertauhid. Inilah yang disebut pragmatisme konsep pendidikan.
Kebaikan itu hanya dinilai pada satu sisi saja, sedangkan sisi lain yang lebih esensial justru dibuang. Karakter yang baik itu bukan sekedar berdisiplin, tidak korup, jujur dan lain sebagainya. Seorang ateispun bisa memiliki karakter-karakter tersebut.
Doni rupanya terlalu sialu dengan keberhasilan dan kemajuan Barat. Barat maju karena disiplin dan tidak korup. Tapi ia tidak melihat sisi lain, yaitu nilai sekularismenya. Konsep Foerster tersebut konsep pendidikan karakter yang bebas nilai (free value).
Karakter yang bebas nilai itu lah yang berbahaya. Tidak ada nilai-nilai ketauhidan. Seorang yang jujur, tidak korup dan berdisiplin tapi tidak percaya Tuhan tetap saja ia dinilai manusia maju dan berkarater. Dalam pandangan Foerster, spiritualitas itu dapat dicapai tanpa taat beragama.
Di sinilah kerancuannya, bagaiman mungkin Negara Indonesia yang berpenduduk masyoritas muslim dan dikenal sebagai masyarakat religius dikenalkan pendidikan karakter yang sekular tersebut.
Jika karakter model Foerster yang dipakai, maka pendidikan kita bisa saja mencetak individu-individu cerdas, unggul dan berprestasi, akan tetapi berpaham sekular-pluralis.
Pendidikan Beradab
Maka seyogyanya pemerintah tidak malu-malu mengadopsi pendidikan karakter ala pesantren. Konsepnya jelas dan penerapannya telah dipraktikkan ratusan tahun yang lalu.
Di pesantren, apalagi pesantren yang menerpakan pendidikan integral, dikenalkan konsep adab. Dalam konsep adab, pertama-tama yang dibentuk adalah siswa yang berkarakter tauhid. Ini adalah elemen yang paling mendasar.
Siswa diajari bagaimana mengenal Sang Pencipta, bersyukur dan cara beribadah yang benar sesuai yang diperintah Allah. Karakter ini pun tidak serta merta berarti tidak humanis atau anti-sosial.
Justru dengan karakter tauhid itu, adab kepada masyarakat, kepada sesame terbentuk. Tauhid adalah landasannya. Karakter tauhidi dikanlkan bersosialisasi, berorganisasi dan bertoleransi.
Pembentukan karakter di pesantren benar-benar serius. Sebab dilakukan selama dua puluh empat jam. Menurut KH Abdullah Syukri yang dicapai dari pendidikan karakter di pesantren itu adalah orang-orang yang berkarakter kuat, yang tidak cengeng dalam menjalani hidup, dan siap untuk menjalankan kehidupan
Sebab pada hakikatnya kehidupan itu adalah dari Allah dan untuk Allah, maka seorang siswa itu haru siap dengan segala konsekuensi kehidupan. Maka disinilah peran integralisasi pendidikan tidak bisa diabaikan. Seorang siswa cakap dalam ilmu umum sekaligus fasih mengamalkan ajaran agama.
Tujuannya memang membentuk manusia beradab. Seorang beradab pasti berkarakter baik. Sebab ia mengamalkan adab dalam setiap aspek kehidupan dan keilmuan. Setiap ilmu baik itu ilmu sosial atau eksakta dimasuki konsep adab, agar kelak ia menjadi ilmuan yang beradab, ulama yang intelektual bukan intelektual yang tahu tentang agama.
Kholili Hasib
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor Jurusan Ilmu Akidah